Hidupkan Sunnah
Ada Apa Dengan Bulan Sya'ban ?
7 Jul 2010
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait dengan bulan Sya’bân.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertama, Tentang Keutamaan Puasa Bulan Sya’bân
Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah radhiyallâhu'anha menceritakan,
“Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa Beliau pada bulan Sya’bân.”[2]
Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain,
“Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa penuh pada bulan Sya’bân.”[3]
Dalam riwayat lain Imam Muslim,
“Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân kecuali sedikit.”[4]
Imam Ahmad rahimahullâh dan Nasa’i rahimahullâh meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah bin Zaid radhiyallâhu'anhu , beliau mengatakan,
“Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan
sebagaimana Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan
Sya’bân. Lalu ada yang berkata, ‘Aku tidak pernah melihat anda berpuasa
sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’bân.’ Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam menjawab, ‘Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan
Ramadhân. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat
kehadirat Rabb, maka saya ingin amalan saya diangkat saat saya sedang
puasa."[5]
Kedua, Tentang Puasa Nisfu (Pertengahan) Sya’bân.
Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan dalam
al- Lathâ’if, (hlm. 143, cet. Dar Ihyâ’ Kutubil Arabiyah) dalam Sunan
Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari ‘Ali radhiyallâhu'anhu bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
bersabda, Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan
berpuasalah pada siangnya. Karena Allâh Ta'ala turun pada saat matahari
tenggelam, lalu berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun lalu akan
saya ampuni ? adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? …”[6]
Saya mengatakan, “Hadits ini telah dihukumi sebagai
hadits palsu oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau rahimahullâh
mengatakan (Majmu’ Fatawa beliau 5/622), ‘Yang benar, hadits itu maudhu’
(palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin
Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullâh dan Yahya bin Ma’in rahimahullâh mengatakan, ‘Orang ini pernah memalsukan hadits.”
Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan sunat.
Karena berdasarkan kesepakatan para ulama’, hukum syari’at tidak bisa
ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah
dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya
jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini
bisa naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh
dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau
syadz (nyeleneh).
Ketiga, Tentang Keutamaan Malam Nisfu Sya’bân.
Ada beberapa riwayat yang dikomentari sendiri oleh Ibnu Rajab rahimahullâh
setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan.
Kebanyakan para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullâh menilai sebagiannya shahih dan beliau membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân.
Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallâhu'anha,
“Sesungguhnya Allâh
Ta'ala akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’bân lalu Allâh
Ta'ala memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari
jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb.”
Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullâh menyebutkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullâh menilai hadits ini lemah. Kemudian Ibnu Rajab rahimahullâh
menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan,
“Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki
kelemahan. “
As-Syaukâni rahimahullâh menyebutkan bahwa dalam riwayat ‘Aisyah radhiyallâhu'anha tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz rahimahullâh menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya’bân.
Keempat, Tentang Shalat Pada Malam Nisfu Sya’bân.
Untuk masalah ini ada tiga tingkatan,
Tingkatan pertama,
shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya diluar
malam nisfu Sya’bân. Seperti orang yang terbiasa melakukan shalat malam.
Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar
malam nisfu Sya’bân pada malam nisfu Sya’bân tanpa memberikan tambahan
khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini memiliki
keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa.
Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh Ta'ala
Tingkatan kedua, shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya’bân. Ini termasuk bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang menyatakan Beliau memerintahkan, atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali radhiyallâhu'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullâh,
“Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan
berpuasalah pada siangnya.”, sudah dijelaskan (di atas) bahwa Ibnu Rajab
rahimahullâh menilainya lemah, sementara Rasyid Ridha rahimahullâh menilainya palsu.
Hadits seperti ini tidak
bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum syar’i. Para Ulama
memberikan toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah dalam
masalah fadhâilul a’mâl, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya,
-
- Syarat pertama, kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara
kelemahan hadits (tentang shalat nisfu Sya’bân) ini sangat parah. Karena
diantara perawinya ada orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana
kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh.
- Syarat kedua, hadits yang lemah itu menjelaskan suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya lalu ada hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara kelemahannya tidak parah, maka hadits-hadits lemah ini bisa memberikan tambahan motivasi untuk melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya sepenuh hati. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil lain yang dijadikan landasan utama.
- Syarat pertama, kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara
kelemahan hadits (tentang shalat nisfu Sya’bân) ini sangat parah. Karena
diantara perawinya ada orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana
kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh.
Sebagaimana sudah
diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat
nisfu Sya’bân, syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi karena perintah
ini tidak memiliki dalil yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullâh dan yang lainnya.
Dalam al-Lathâif (hlm. 145) Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan,
“Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu Sya’bân, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam maupun dari shahabat.
Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh mengatakan,
“Allâh Ta'ala tidak
mensyari’atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam
nisfu Sya’bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga tidak melalui sunnah Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”
Syaikh Bin Baz rahimahullâh mengatakan,
“Semua riwayat yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu Sya’bân adalah riwayat palsu.”
Keterangan terbaik
tentang shalat malam nisfu Sya’bân yaitu perbuatan sebagian tabi’in,
sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), “Malam
nisfu Sya’bân diagungkan oleh tabi’in dari Syam. Mereka
bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah,
keutamaan dan pengagungan malam ini diambil.
Ada yang mengatakan,
‘Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu Sya’bân itu
adalah riwayat-riwayat isra’iliyyat.’ Ketika kabar ini tersebar
diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang
menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya’bân,
sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, ‘Semua itu
perbuatan bid’ah.’
Tidak diragukan lagi, pendapat ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar karena Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(Qs al-Maidah/5:3)
(Qs al-Maidah/5:3)
Seandainya shalat malam
nisfu Sya’bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Ta'ala jelaskan
dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melalui ucapan maupun perbuatan Beliau. Ketika keterangan itu tidak
ada, itu berarti shalat khusus ini bukan bagian dari agama Allâh Ta'ala.
Semua (ibadah) yang bukan bagian dari agama Allâh Ta'ala adalah bid’ah, sementara ada dalil shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, bahwa Beliau bersabda, "Semua bid’ah itu sesat.”
Tingkatan ketiga, dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka
ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits palsu.
As-Syaukâni rahimahullâh mengatakan (al-Fawâidul Majmû’ah, hlm. 15),
“Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya’bân ini adalah riwayat bathil dan palsu.”
Kelima, Tersebar Kabar Di Masyarakat Bahwa Pada Malam Nisfu Sya’bân Itu Ditentukan Apa Yang Akan Terjadi Tahun Itu.
Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada malam qadar lailatul Qadar).
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Haa miim. Demi Kitab
(al Qur’ân) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada
suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi
peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah."
(Qs ad-Dukhân/44:1-4).
(Qs ad-Dukhân/44:1-4).
Malam diturunkannya al-Qur’ân adalah lailatul qadar. Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan."
(Qs al-Qadr/97:1)
(Qs al-Qadr/97:1)
yaitu pada bulan Ramadhân, karena Allâh Ta'ala menurunkan al-Qur’an pada bulan itu.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur’ân.”
(Qs al-Baqarah/2:185)
(Qs al-Baqarah/2:185)
Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya’bân
merupakan waktu Allâh Ta'ala menentukan apa yang akan terjadi dalam
tahun itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur’an.
Keenam, Ada Sebagian Orang Membuat Makanan Pada Hari Nisfu Sya’bân Dan Membagikannya Kepada Fakir Miskin.
Ini yang mereka namakan ‘asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya’bân termasuk amalan bid’ah yang telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan sabda Beliau, ”Semua bid’ah itu sesat.”
Ketahuilah, orang yang membuat kebid’ahan dalam agama Allâh Ta'ala ini berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan :
a. |
Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Ta'ala, yang artinya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Qs al-Maidah/5:3).
Karena apa yang dibuat-buat
ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini tidak termasuk agama
ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid’ahan
ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red)
|
b. | Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan rasulNya. |
c. |
Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia
memposisikan dirinya sama dengan Allâh Ta'ala dalam menghukumi manusia.
Allâh berfirman, yang artinya,
“Apakah mereka mempunyai sembahansembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ?”
(Qs as-Syuura/42:21) |
d. | Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan kedua, Nabi tahu namun Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyembunyikannya. Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam karena yang pertama menuduh Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu syari’at dan kedua menuduh Beliau menyembunyikan bagian dari agama Allâh yang Beliau ketahui. |
e. | Kebid’ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari’at Allâh Ta'ala. Ini sangat dilarang oleh Allâh Ta'ala. |
f. |
Kebid’ahan ini akan memecah belah umat. Karena
masing-masing membuat manhaj sendiri dan menuduh yang lain masih kurang.
Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allâh Ta'ala dalam
firman-Nya, yang artinya,
“Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang berceraiberai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orangorang yang
mendapat siksa yang berat,"
dan dalam firman-Nya, yang artinya,(Qs Ali Imrân/3:105)
“Sesungguhnya orang-orang
yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolonggolong,
tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan
mereka hanyalah terserah kepada Allâh, kemudian Allâh akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”
(Qs al-An’âm/6:159) |
g. | Kebid’ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyariatkan. Para pembuat bid’ah itu, tidaklah membuat suatu kebid’ahan kecuali pada saat yang sama dia telah menghancurkan syariat yang sepadan dengannya. |
Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan
sunnah yang shahih itu sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat
hidayah dari Allâh Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman,
“Wahai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, “Dengan kurnia
Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengannya. karuniaa
Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
(Qs Yûnus/10:57-58)
(Qs Yûnus/10:57-58)
Dalam ayat lain Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(Qs Thaha/20:123)
(Qs Thaha/20:123)
Akhirnya saya memohon kepada Allâh Ta'ala agar
senantiasa memberikan petunjuk kepada kita dan kepada saudara-saudara
kita kaum Muslimin menuju shirâtul mustaqîm dan saya memohon
kepada Allâh Ta'ala agar senantiasa menolong kita di dunia dan akhirat.
Sesungguhnya Allâh Maha Dermawan dan Maha Pemurah.
[1] |
Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu’ Fatawa
beliau, 20/25-33 |
[2] |
HR Bukhâri, no. 1969 dan Muslim, no. 1156 dan 176
|
[3] | HR Bukhâri, no. 1970 |
[4] | HR Muslim, no. 1156 dan 176 |
[5] | HR Ahmad, 5/201 dan Nasâ’i, 4/102 |
[6] | HR Ibnu Mâjah, no. 1388 |
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.